Sukma Sejati, Garis dan Warna Pelukis Indonesia Seruni Bodjawati
Melukis bagi Seruni Bodjawati adalah ibadah untuk mendapatkan sukma sejati. Garis dan warna yang diekspresikan adalah sarana komunikasi sekaligus tapak-tilas bagaimana ia menghayati hidup. Dalam penghayatan dan komunikasi itu, Seruni berusaha mempertemukan kita dengan tokoh-tokoh perempuan yang dikaguminya. Inilah yang melahirkan serial “perempuan penggugat”. Dengan mengumpulkan sejumlah perempuan yang dianggapnya fenomenal itu, kita disadarkan bahwa bangsa ini kaya dan kuat berkat pribadi-pribadi yang luar biasa.
Ada tiga perempuan dalam sejarah Indonesia yang saya kagumi. Pertama adalah Pramodhawardhani. Dalam imajinasi, dia bukan hanya cantik dan cerdas, tapi sangat bijaksana. Bayangkan, bagaimana seorang putri yang meresmikan sebuah “jinala” – tempat peribadatan Budha yang indah dan monumental pada tahun 824, memutuskan untuk menjadi istri Rakai Pikatan, yang beragama Hindu. Menurut berbagai bacaan, suami Pramodawardhani itulah yang meresmikan Candi Prambanan pada tahun 856.
Kedua tahun itu – 824 Masehi untuk peresmian Borobudur dan 856 untuk Prambanan – hidup dalam iman saya bila bicara tentang peradaban. Jadi, kedua candi yang luar biasa megah di Jawa Tengah, dalam kepercayaan saya diresmikan oleh sepasang istri dan suaminya. Maka, ketika mendengar Seruni menyelami sejarah untuk melukiskan wajah-wajah perempuan yang mahapenting, saya langsung bertanya apakah Pramodhawardhani sudah dilukiskan? Untunglah – wajah bahkan posturnya terlukis sebagai tokoh pertama.
Karena itulah, dengan suka-cita saya menyatakan bersedia memberi pengantar untuk katalog pamerannya. Bagi saya, Pramodhawardhani adalah “Ibu Toleransi” dalam kehidupan beragama. Bahwa kemudian dia dinyatakan sebagai “penggugat intoleransi” dalam istilah Esthi Susanti Hudiono, rasanya cuma beda istilah saja. Esensinya sama. Pramodhawardhani patut dikagumi – dan selalu saya rasakan kehadirannya bila mengunjungi petilasan istana purba yaitu, kompleks Ratu Baka.
Di istana itulah dulu Balaputeradewa – saudara laki-laki Pramodhawardhani berdiam diri sebelum menyingkir dari Jawadwipa untuk mendirikan Kerajaan Sriwijaya yang mengedepankan identitas agama Budha. Sedangkan Mataram yang dipimpin Rakaipikatan dan Syailendra yang dikomandani Smaratungga – ayah Pramodhawardhani itu, berlanjut sebagai tata-pemerintahan multi-agama yang berkembang sampai sekarang.
Perempuan kedua yang saya kagumi adalah Gayatri Rajapadni. Dia adalah putri bungsu raja terakhir Singhasari, Sri Kertanegara; istri pendiri Majapahit, Raden Wijaya; dan nenek Maharaja Hayamwuruk, yang terkenal berhasil menguasai (dalam hati saya: mengurus) Kepulauan Nusantara, bersama patihnya yang sangat terkenal: Gajahmada.
Seruni melukiskan Gayatri Rajapadni sebagai “Ibu Keagungan Majapahit”. Saya ingin menyarankan agar tokoh ini lebih sering dilukis kembali, sampai menemukan aura yang lebih mengena. Masalahnya, dalam lukisan pertama yang saya lihat, wajah Gayatri seperti belum pas, - lebih gemuk ketimbang yang ditampilkan patung Pradnyaparamita. Padahal itulah sumber inspirasinya.
Sampai disini, kita perlu mencermati gaya Seruni dalam melukis. Teori seni rupa modern mengisyaratkan kebebasan berekspresi yang seluas-luasnya. Yang penting, bagaimana karya perupa mampu menimbulkan sensasi baru, permenungan, pencerahan, dan provokasi pada penikmatnya. Untuk itu kita perlu melihatnya secara utuh. Tema lukisan Seruni tidak hanya terfokus pada potret yang ditampilkan, tapi juga inspirasi dan informasi di seputar tokoh itu. Karena itu dalam beberapa lukisannya juga tampil sejumlah wajah. Lihat saja tokoh Nyi Ageng Serang yang dilukisnya sebagai Panglima Sakti Perang Jawa. Ada wajah Ki Hajar Dewantara di kiri atasnya.
Lukisan Seruni mengajak penikmatnya menarik hubungan dan memberikan tafsir peran apa yang dilakukan oleh tokohnya. Lukisannya berbentuk pematangan dari karikatur, poster atau meme – yang ingin menyampaikan pesan. Dan pesan itu bertumpu pada peran perempuan yang istimewa. Karena itu, diperlukan uraian latar-belakang dan informasi yang mencukupi. Karya Seruni dalam serial menjadi lebih utuh, bila dikaitkan dengan sejarah perjuangan perempuan yang senantiasa menghidupkan diskusi.
Pertanyaannya, bagaimana bila lukisannya harus dilihat tersendiri – dilepaskan dari aneka pesan dan informasi yang melatar belakanginya?
Jawabnya: bagus juga! Seruni tidak meninggalkan kaidah estetika lukisan yang bagaimana pun harus menampilkan keindahan, baik sebagai ornamen maupun karya seni yang menawarkan kedalaman. Selalu ada dalam setiap karyanya lambang-lambang, isyarat-isyarat, dan perangkat budaya (perahu, piano, buku, bendera, mesin tulis, bahkan bedil, dst.) yang mengedepankan perjuangan hidup setiap tokohnya. Seruni mengakumulasi sentuhan perasaan dengan kepalan tangan dan wajah tokoh-tokoh yang dirasakan senada. Misalnya figur (Bara Perlawanan) Marsinah, dikelilingi wajah Tan Malaka, Munir dan Wiji Thukul – tokoh-tokoh yang menemui ajal dalam perjuangan pribadinya.
Memang bersifat karikatural, tetapi dengan penggarapan yang memadai, berikut estetika yang bisa dipertanggung-jawabkan. Garis yang ditorehkan dan warna-warna pilihan Seruni mempunyai karakter yang khas dan matang. Tidak ada alasan untuk menyatakan Seruni masih belajar menemukan format dan teknik, karena ia sudah menemukan ekspresi yang khas miliknya. Ia menghayati pekerjaannya sebagai pelukis lengkap dengan spiritualitasnya. Karenanya dia memandang pergulatannya sebagai upaya mencari sukma sejati, lebih dari sekedar jatidiri (true self ?) jiwa pribadinya yang hidup abadi.
Saya percaya, sukma Seruni akan semakin kuat melalui dialog dan upaya terus menerus dengan subyek-subyek yang dipilih untuk dilukisnya. Mungkin untuk kali ini ia mencari dan menemui perempuan-perempuan penggugat. Lain kali mungkin tema berbeda. Bisa alam benda: gunung, laut, matahari atau bencana yang mengubah peradaban. Bisa juga satwa dan tumbuhan serta berbagai peristiwa yang membuat mereka perlu didiskusikan. Yang jelas, Seruni selalu punya kejutan untuk setiap lukisannya. Kalau tidak percaya, coba lihat “Permata dari Minahasa” Maria Walanda Maramis. Mengapa di samping kiri wajahnya ada gunting, benang, dan mesin jahit? Sedangkan di samping kanan ada pohon bunga bertulis 1917 di bawahnya?
Informasi itu bukan hanya isyarat, tapi juga merupakan kejutan. Bagaimana pejuang anti patriarki dan diskriminasi disimbolkan dekat dengan piranti domestik – khususnya jahitan? Kita dikejutkan dengan simbol lain seperti tungku dengan arang untuk “Api Perjuangan” Kartini, dan meriam untuk “Mutiara Lautan Tanah Rencong” Laksamana Malahayati.
Semuanya bisa didiskusikan bahkan diperdebatkan. Teristimewa bila ada pertanyaan, mengapa tokoh ini masuk, sedangkan tokoh itu tidak? Jawabnya terpulang pada pilihan dan kebebasan Seruni.
Kesimpulannya: diskusi dan kebebasan memilih peran, adalah bonus bagi para penikmat lukisan dalam serial Perempuan Menggugat ini. Sementara bagi saya, siapakah perempuan ketiga yang paling saya kagumi dalam sejarah Indonesia? Dengan rendah hati dan permohonan maaf, saya harus merahasiakan. Mungkin Seruni sudah melukisnya, atau mungkin juga belum, tidak bisa saya ceritakan. Seperti halnya yang dilakukan Seruni dalam setiap lukisannya, kalau ada tokoh ketiga, pasti kejutan.
*Teks oleh Eka Budianta, penulis dan sastrawan Indonesia